...And so it was later, As the miller told his tale, That her face at first just ghostly, Turned a whiter shade of pale... Annie Lenox bersenandung Whiter Shade Of Pale ditelingaku, sebuah racikan apik yang sebenarnya daur ulang dari lagu yang pernah hits dibawakan oleh Procol Harum. Lagu yang gak pernah aku mengerti artinya, apakah hanya ungkapan seorang yang saat itu sedang mabuk, ataukah memang dia mengagumi sosok wajah pucat pasi ( hantu ).
Kilo meter 95 menuju Ibu kota, aku duduk dikursi ke 8 sebuah travel cukup terkemuka, tepat disamping jendela sebelah kiri, pemandangan yang monoton namun cukup menghibur perjalananku memburu asa di ibu kota. Hamparan sawah, kadang padang rumput, kadang pabrik-pabrik dengan cerobong asapnya yang mengepul terlihat, sedang kendaraan terus meluncur di atas aspal tol Cipularang. Penumpangnya gak terlalu penuh hanya sopir, penumpang perempuan di kursi bersebelah dengan sopir, sepasang muda mudi di kursi belakang sopir, bapak yang memakai batik bermotif burung depanku, sedang aku di kursi paling belakang sendiri, membuatku leluasa.
AC mulai terasa dingin menusuk kesumsum tulangku, aku coba merubah posisi dudukku. Sebetulnya tak ada panggilan kerja atau sekedar interview di ibu kota, namun aku hanya ingin menghabiskan masa cuti dan masa tenangku sebelum menghadapi sidang Tugas Akhir, tujuannya Jakarta, namun aku akan menumpang ditempat temanku sekitar Cikokol Tanggerang, hari ini langit nampak bersahabat. Travel berhenti untuk Check point, dan penumpang dipersilakan turun untuk sekedar mencuci muka, atau buang air kecil, begitupun aku, aku turun hanya untuk sekedar menghirup udara luar saja, berlama-lama menghirup AC membuatku agak sedikit mual.
Kendaraan kembali meluncur, Delta Mas didepanku, bangunan yang mungkin menjadi landmark atau ciri oleh para pengguna tol bahwa Ibu kota sebentar lagi menyambut. Mataku mulai terasa berat, sedang penumpang lain sudah terlelap, aku coba memajamkan mataku, namun sulit untuk terlelap, aku teringat sahabat kecilku, dimana dia sekarang dan sedang apa. Sudah dua hari ini dia tidak terlihat, sayang sekali dia tidak ikut bersamaku, tapi semoga nanti di Tanggerang dia hadir.
Bintaro Sektor 3 Pool travel yang aku tumpangi, tepat diseberang kampus Sekolah Akuntansi, kendaraan berhenti, pegawai travel mempersilakan penumpang turun dan mengingatkan pada barang bawaannya, sesekali ada tawaran untuk mencarikan taxi. Udara Tanggerang begitu lengket, gerah, dan sedikit berdebu, aku bbm Rudi temanku, Rud aku udah sampai nih, kamu dimana, selang 3 menit Rudi membalas bbmku, sebentar bro aku isi bensin dulu, udah deket ko.
15 menit kemudian sosok tinggi besar ( gempal maksudku ) muncul di atas motor matic, dia melambaikan tangan, hai bro selamat datang di Tanggerang, siap untuk bermacet ria dan berkeringat ledeknya. aku hanya tersenyum sembari merangkulnya, kawan lama yang hampir 2 tahun tak pernah berjumpa, Rudi adalah kawan semasa aku SMA ( sebenarnya SMK namun biar lebih enak kedengarannya aku ganti jadi SMA ). Kita cari makan dulu ya, aku hanya mengangguk, mengikuti kemana dia pergi, karena memang ini kali pertama aku ke kota ini.
***
Bro kamu tinggal saja disini bareng aku, kebetulan ayah Rudi bos kos-kosan, dan sebetulnya dia orang Cianjur, namun karena ditugasi untuk mengelola kos-kosan, jadi mau gak mau dia hijrah ke Tanggerang. Kosannya cukup bersih dan suasananya enak, dengan taman dan gazebo untuk penghuni kos nongkrong, kamar kosan terletak dilantai 2, tepat di bawah tadi ada kantin mini, dan warnet, plus jasa antar titipan kilat yang cukup terkenal, semua ini milik Rudi. Wah hebat dia gumamku dalam hati.
Kamar no. 3 ini kamarmu bro, tinggallah disini, anggap kamar sendiri, hehe dia hanya tersenyum. Aku kebawah dulu ya, ada yang harus dikerjain, ini kunci kamarmu, kalo ada apa-apa tinggal kebawah aja, sekarang kamu istirahat dulu, ntar sore baru kita menggila. Dan lagi angka 3 yang selalu menghampiruku.
Fasilitas kamar kos sudah seperti hotel saja, full ac, tv 14 inch, lemari, kasur, meja komputer, kamar mandi include, plus poster Britney Spears. Aku sedikit geli melihat poster Britney dengan pakaian yang serba mini. Tanpa membersihkan dulu badan aku langsung tumbang di atas tempat tidur, karena memang badanku terasa sangat capek. Akhirnya aku sampai juga di kota ini dengan selamat, meski sebenarnya agak ragu untuk pergi tadi, namun semua jalan harus aku tempuh, semua cara harus aku coba untuk mencapai cita. Tak terasa aku terlelap entah dari jam berapa, yang jelas aku terlelap. 17:55, aku terbangunkan oleh suara adzan, astaghfirullah aku terlewatkan shalat Ashar, maafkan aku ya Allah, aku begitu lelah. Segera aku membersihkan tubuhku, aku bersolek lalu shalat.
Bro kamu udah bangun, pintu kamarku diketuk oleh Rudi, ya Rud masuk aja gak dikunci ko. Gimana siap buat menggila. Aku hanya mengangguk, ayo berangkat, eits tunggu dulu ada yang hampir lupa kataku, Rudi mengernyitkan dahinya tak mengerti. Aku buka resleting tasku, aku keluarkan botol bulat berwarna biru bertuliskan Benneton, aku semprotkan kebajuku, Rudi menepuk dahinya. Ok ready brother let`s get mad, hehe sok English lo ejeknya.
***
Bro besok kita beli Kompas sama Tanggerang Ekspress ya, kita lihat apa ada loker besok, aku hanya mengangguk sembari melahap capcay rebus dibilangan Bintaro. Cukup ramai kota ini dimalam hari, kilauan lampu-lampu kendaraan berbaur dengan lampu pertokoan yang berjejer.
Eh gimana kabar kuliah kamu, tanya Rudi, tinggal nunggu sidang aja Rud, wah hebat ntar kalo wisuda aku diundang ya bro. Aku hanya mengacungkan ibu jariku. Knapa sih kamu pengen kerja di Jakarta, apa di Bandung udah gak ada perusahaan yang butuh karyawan lagi ya. Bukan gak ada Rud, cuman aku pengen coba cari peruntungan aja, ya kalo ada rezekinya di Jakarta aku ambil, ya kalo ga ada aku balik kandang deh. Udah aja kamu ikut aku ngurus kosan aja bro, aku hanya tertawa ngakak begitupun dia.
Kamu cuti berapa hari bro, gmana kerja di Bank enak gak? Aku cuti 12 hari Rud, aku ngabisin jatah cuti tahunan ama cuti block aku, setelah itu aku ada rencana resign juga sih. Loh kenapa, bukannya enak kerja di bank tanyanya lagi, enak mbahmu, kalo bank tu punya keluarga aku sih enak, aku cuman kuli Rud, lagian gak enak banget, tiap hari nipu orang Rud, Rudi kembali memicingkan matanya tak mengerti, maksudmu?, iya Rud aku harus bisa ngebujuk nasabah buat ngajuin pinjeman dari bank tempat aku kerja, padah aku tau itu justru bakal nyekik mereka secara perlahan, bunganya bakalan jadi bom waktu Rud, dan itu bertentangan ama nurani aku, aku selalu berfikir gimana kalo itu nimpa ama keluarga aku, Rudi hanya mengangguk.
Ntar aku kenalin sama penghuni kos lain deh bro, biar lo kagak kesepian, dan ada hiburan sembari dua tangannya memberikan kode tanda kutip, aku hanya tersenyum. Memang dari dulu Rudi terkenal dengan playernya, tapi sebenarnya dia baik dan care sama temen. Pernah suatu waktu pas lagi SMA aku, Yadi, Zay, Cepy, dan Mail kepergok merokok di belakang ruang gambar, dan kami di starp untuk membersihkan ruang praktek, Rudi datang dengan membawa minuman dingin plus makanan ringan, dan dia rela untuk bolos pelajaran ukur tanah hanya buat nemenin kita ( antara setia kawan dan konyol memang tipis ). Tapi itulah penggalan kenangan semasa SMA.
***
Mona, Rita, Adam, Santi, Nina Karyawan Bank juga, Ilham, Dewi, Diana SPG event, kenalkan ini Hendra temenku dari Bandung, aku diperkenalkan sama penghuni kos lain yang kebetulan sedang berkumpul di ruang tamu lantai dua, sebagian penghuni kost lainnya entah kemana, seluruhnya ada 14 kamar, coba bayangkan 14 kamar dengan harga rata-rata perbulan Rp. 850.000, bera rupiah yang Rudi dapat setiap bulannya, namun ada beberapa kamar yang dia sewakan per tahun, ckckck pengusaha muda pikirku.
Asal kalian tahu, penghuni kos wanitanya bening-bening dan mungkin sudah tak merasa risih lagi berpakaian mini dan mengajak pasangannya untuk menginap, kosan ini begitu bebas, bahkan saat itu di atas meja nampak beberapa botol minuman keras terpampang, beberapa bungkus Marlboro, Sampoerna Mild, ada juga yang menthol.
Aku tinggal ke kamar sebentar ya kataku sembari melambaikan tangan, mereka mengangguk, sebagian melambaikan tangan juga. Ketika kubuka pintu kamarku aku kaget karena ada sosok anak permpuan sedang memainkan angry bird dilaptopku, hai mas lama banget ih keluyurannya, mana tadi abis ngeceng ya ejeknya, Bila sejak kapan kamu disini, dari tadi mas pas mas berangkat ama teman mas itu Bila udah disini ko, tapi Bila sengaja gak ikut mas, karena takut ganggu.
Kamu kemana aja Bil, ko baru nongol lagi tanyaku, ada ko mas, Bila sekarang banyak temen di Bandung, jadi hampir kelupaan mas, tapi gak mungkin lupa ko tenang aja ibu jarinya dinaikan. Mas tahu gak ada penghuni baru di makam Bila namanya mbak Yayu, orangnya cantik, tapi dia meninggal gantung diri mas, kasian setiap hari menangis kesakitan minta tali yang melilit lehernya dibukain, dia bunuh diri gara-gara diputusin sama pacarnya padahal dia udah nyerahin segalanya katanya, ko ada ya mas yang kayak gitu, aku hanya mengangguk tersenyum, aku merasa bahagia karena Bila ada bersamaku kini.
Mas tadi Bila iseng masuk ke kamar sebelah, Bila liat mbaknya lagi ngeroko sambil minum apa ya yang dalem botol, ah Bila ko nakal, ga boleh diulangi lagi ya hal kayak gitu, Bila hanya mengangguk. Ada cerita apa buat mas hari ini setelah dua hari kita gak ketemu, oh iya kabar Melisa bagaimana. Mas mau denger Bila cerita ya, aku mengangguk.
Kemarin Melisa nangis mas, katanya teringat sama orang tuanya sudah ama gak berkunjung kemakam, kasihan dia mas, asal mas tahu, kita memang sudah meninggal mas, tapi hanya raga yang meninggal mas, tapi ruh, perasaa, rasa takut, rasa rindu, rasa sayang kita masih hidup dan gak mungkin ikut meninggal pula, kita masih perlu kasih sayang juga, kita senang kalo makam kita dikunjungin, Bila juga seneng kalo mama papa dateng ke makam terus nyium nisan Bila, oh iya Bila juga udah punya adik namanya Asyifa umurnya baru 2 tahunan, Bila sering berkunjung kerumah mas, makanya Bila jarang ketemu mas, adik Bila kayaknya bisa liat Bila, karena kalo Bila dateng dia senyum-senyum sambil ketawa gitu mas, wajahnya lucu banget cantik mukanya mirip banget mama, tapi idungnya agak pesek kayak papa, dia ngikik sembari menutup mulutnya. Aku ikut tertawa melihat tingkah polosnya.
Bila tiba-tiba terdiam tertunduk, wajahnya memerah, matanya berkaca, air matanya meleleh dari ujung-ujung matanya, dia terisak, aku kaget dan bertanya kenapa kamu menangis. Biala memelukku, aku kangen mama papa mas, aku kangen dipeluk mereka, aku kangen dibacain cerita sama mereka sebelum tidur, aku kangen mas. Tak terasa air mataku ikut menetes, aku merasakan kerinduan yang teramat, aku merasakan kepiluan yang Bila rasakan, sabar Bila sayang, kan ada mas yang bisa meluk Bila, mas bisa ko bacain Bila cerita, tapikan Bila gak tidur kalo malem, aku memeluknya erat aku tepuk punggungnya, aku begitu hanyut terbawa oleh suasana.
Entah apa yang aku rasakan saat itu, aku merasa begitu dekat dengannya, mas Bila boleh minta sesuatu gak dari mas, aku hanya mengangguk sembari berkata kalo mas mampu pasti mas lakuin emang Bila mau apa, mas jangan berhenti kasih doain Bila ya, biar Bila ngeras tenang dan gak kegelapan, aku hanya mengangguk.
***
Tanggerang pagi ini begitu panas, lalulintas mulai ramai, aku bersama Rudi berencana ke daerah Pondok Jagung, untuk mendatangi sebuah perusahaan lelang yang membuka lowongan sebagai admin penjualan, lalu ke Sumarecon Tanggerang, semoga ada yang menjadi jodohku, usaha dulu sukses kan gak wajib.
Rasanya aku gak perlu buat cerita panjang lebar tenatang bagai mana proses interviewku, karena semua yang ditanyakan klise. Saat ini aku tengah dibawa oleh Rudi ke kawasan Lippo Karawaci, sebuah pusat perbelanjaan yang cukup nyaman, dengan tata kota yang apik, gak terlalu terasa panas, bahkan cenderung nyaman.
Sebuah tempat makan khas sunda kami datangi, namun di dalamanya tedapat tenant-tenant yang menawarkan beraneka sajian tak hanya khas sunda saja, sedang ada pertunjukan musik juga. Banyak sekali pengunjungnya, ikut bernyanyi seiring dengan penampil yang sedang bersenandung lagu The Upstairs...kan kupersembahkan sekuntum mawar, aku di Matraman kau di Kota Kembang.... Aku memesan nasi timbel komplit. Kami berbincang sembari menghabiskan pesanan kami.
Gimana tadi interviewnya bro, Rudi bertanya, yah seperti biasa lah Rud, nunggu dipanggil lagi, sabar aja bro kalo jodoh gak kemana, lagian kan kamu juga sekarang masih berstatus karyawan. Oh ya ini hari ke 2 ku di Tanggerang, namun Rudi begitu memanjakanku, memang karib yang begitu baik. Suatu saat aku akan balas kebaikan ini ujarku dalam hati.
Langit sudah mulai gelap, samar-samar terdengar shalawatan dari jauh sana, membuat batinku merasa damai, ditemani dengan hembusan angin kota Tanggerang, perut kenyang pula sempurna sudah kedamaian ini. Saatnya pulang bro, tiba-tiba suara Rudi membuyarkan lamunanku.
***
Hari-hari aku lewati, tak terasa sudah hampir 9 hari aku dikota ini, apa kabarnya kotaku, rasa rindu mulai menghampiriku, sedikit terasa mengganggu, terlebih rindu pada keluarga dan keponakan kecilku Aliqa. Sedang apa mereka sekarang ya, lamunku melayang diantara internit kamar kosku, diiringi senandung negeri di awannya Katon.
Mas ko mas ngelamun sih, suara Bila menyadarkanku dari lamunan, iya nih Bil, mas kangen sama orang rumah, mas kangen sama Aliqa, sedang apa ya mereka. Mas kapan pulang tanyanya, aku menggeleng. Mending telepon kerumah deh mas, lumayan kan buat ngobatin rasa kangennya, ide briliant fikirku. Tak menunggu lama aku ambil BB ku lalu aku telpon rang rumah, kali ini ke nomor kakak tertua ku Tuti.
Halo.. teh apa kabar, gimana kabar mama, baik alhamdulillah, mama baru pulang pengajian katanya, nih aku sambungkan ke mama. haloma apa kabar, mama baik Nda, kamu gimana kabarnya, baik-baik ya disana, jangan lupa shalat, dan bla..bla..bla.. seperti itulah mungkin, karena gak mungkin kan aku ceritakan semuanya pada kalian. Aku tutup telepon, aku buka laptop, Bila masih di atas tempat tidur sembari tengkurap dan kakinya dia naikkan.
Aku coba browsing lowongan kerja, namun konsentrasiku mulai buyar dan memang sudah gak bisa fokus lagi karena rasa rinduku, oh ya saat itu lagi musim rambutan, dan di Tanggerang ini banyak sekali pohon rambutan, bahkan di kosan milik Rudai di taman depan ada 2 pohon yang berbuah lebat, dan Bila sering sekali nongkrong di sana, untuk gak ada yang liat, bisa berabe kan kalo ada yang bisa liat dia selain aku.
Pagi nanti aku disuruh buat manen rambutan oleh Rudi, karena gak ada yang bisa naik, dan aku terkenal jago manjat dari sejak SMA, dulu pernah aku disuruh buat masang spanduk oleh pihak sekolah di antara pohon yang super tinggi, dan aku melakukannya tanpa terlihat kesulitan.
Aku duduk menatap lekat layar laptopku, aku ingin menulis tapi gak tahu apa yang harus aku tulis, pikiranku begitu berkecamuk, campur aduk. Bila menghampiriku, sembari menepuk pundakku, knapa sih mas ko kayak yang lesu gitu, mas capek ya, atau mas patah hati, godanya. Mas kangen Bandung Bil, ya tinggal pulang aja dong mas ko dibikin ribet sih, iya sih memang tinggal pulang tapi mas masih kerasan juga di sini. Bila mengelis punggungku.
100 km lebih aku terpisah dari keluarga yang senantiasa memberi kehangatan bagiku, terpisah dari handai taulan yang biasa riang bernyanyi bersama, aku terpisah dari udara yang biasa aku hirup, terpisah dari air yang senantiasa menetes dipuing-puing dahaga, 100 km lebih aku terpisah jauh dari tanah tempat biasa aku berpijak.
Disini tak terlihat senyum dari kepompong kecil yang selalu kurindukan, disini tak kutemui belukar asri buah lentik ibuku, tak kudengar santuncelotehan, disinipun tak pernah kudapati deretanangka dan huruf yang biasa aku eja dan kuhitung.
100 km lebih anganku jauh mengawang, langitku berbeda disini, tak perlu aku jelaskan apa yang ada disini, karena kalianpun tahu dan mendengar dari cerita banyak orang-orang sebelum aku yang pernah menjejakkan kakinya ditempat yang sama denganku kini. Dapatkah kalian merasakan suatu kerinduan yang teramat padaku kini, bukan kawan, bukan karena mentalku tempe, tapi memang benarsegala sesuatunya lebih indah di tanah sendiri. Masih banyak kriya yang bisa tercipta, akupun bahkan tak pernah tahu apa yang sedang aku lakukan disini,aku hidup seakan mati, ragaku disini namun benakku tak bersamaku, disuatu tempat dimana tak perlu air es untuk membekukan tubuh kita, tak perlu sinar mentari untuk menghangatkan jiwa yang sepi.
Beribu kali bahkan berjuta kali aku coba menyibukan diri agar terlupa sejenak akan nisan ayahku tercinta di 100 km lebih disana, tetap saja semakin aku mencoba buat melawan gejolak rinduku, semakin aku lemah karenanya, aku begitu rindu. Berjuta kemewahan disini tak berarti banyak dan takmampu berbuat banyak bagiku, aku ingin pulang.
Rinduku pada ilalang, rindu pada kesederhanaan, bukan hanya budak nafsu dan keserakahan, ada banyak hal yang masih harus kutuntaskan disini, biarlah rasa rindu ini sejenak aku tunda, mimpi-mimpi masih menanti, mimpi akan esok yang lebih kemilau, seperti deretan kilau lampu kota yang saat ini menemaniku di 100 km lebih dari kotaku, aku duduk disekitaran rasa rindu berkecamuk, diantara gedung-gedung megah menjulang tinggi.
Dengarlah lirih rinduku padamu kotaku, kau tetap terindah bagiku, 100 km lebih begitu menjemukan. 00:15 jarum jam memburu menghiasi hikayat 100 km lebih jejaku, begitu tenang malam ini, tapi tak begitu dengan perasaanku, aku telah begitu jauh melukai rinduku, rindu pada kiblat dikotaku, tempat aku tengadahkan tanganku meminta padaNya. Langitpun menjadi kelabu, seolah tahu betapa teramat rasa rinduku, sesekali terasa hembusan angin meniupku, dia seakan menitipkan suara ibuku, dia berbisik padaku, cepat pulang anakku.
Oh aku merindukan jingga langit kotaku ketika senja menjelang. Bila menitikan air mata seolah tahu apa yang tengah aku rasakan. Apa yang kita alami sekarang sama mas, Bila juga merasakan rindu yang teramat pada keluarga. Mas tetap berdoa ya buat Bila. Dan malam itu kami menangi bersama, setidak aku merasa ada Bila yang begitu tahu apa yang aku rasakan.
Terima kasih sahabat kecilku Bila, hari-hariku begitu menakjubkan bersamamu.
***